Tuesday, April 1, 2008

Putusan MK yang Ambivalen

Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Ambivalen

Belum sempat kita istirahat dari terkaget-kaget dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang secara garis besar melarang asas retroaktif dalam UU tentang KPK yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam pertimbangan karena tidak diminta oleh Pemohon, ditambah lagi dengan adanya UU PEMDA yang ditinjau dari putusan ambivalen maka kitapun akan lebih terkejut lagi tentang putusan MK mengenai Kamar Dagang dan Industri yang secara mengejutkan dengan kasus ini MK menjudicial review UU tentang MK sendiri sehingga MK menyatakan bahwa pasal 50 tentang kewenangan MK bertentangan dengan UUD.

Mahkamah Konstitusi yang didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003[1] yang berdiri atas dasar pasal 7B, pasal 24 ayat (1) dan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 perubahan ketiga, telah melahirkan pelbagai putusan yang diantaranya menyangkut : 1. Pengujian undang-undang terhadap UUD, 2. sengketa lembaga negara, 3. Pembubaran partai politik, 4. Perselisihan hasil Pemilu dan sebuah kewajiban memutus pendapat DPR dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wapres

MK pada awal mulanya sangat konsisten untuk menjalankan kewenangannya dengan dasar prospective (bersifat kedepan) dan bukan retroactive (bersifat kebelakang), sehingga kalau dikaitkan dengan kewenangan ini maka secara tidak konsisten MK menerapkan asas non retroaktive. Seharusnya jika MK konsisten maka MK tidak bisa menjudicial review pasal 50 UU Nomor 24 tahun 2003. Ada beberapa putusan yang dapat kita ambil kesimpulan tentang ketidakpastian pendirian Mahkamah Konstitusi

Dapat kita telaah dari putusan MK Nomor 069/PUU-II/2004 mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi[2], secara mengejutkan MK menambahkan dalam pertimbangan hukumnya tentang asas retroaktive padahal hal tersebut tidak diminta dalam gugatan, dan hal ini menimbullkan pro kontra yang meluas dari pelbagai kalangan, dengan alasan inipula banyak pengacara-pengacara kasus korupsi menyatakan berbagai dakwaan korupsi yang disidang tidak bisa dilanjutkan karena UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK hanya berlaku semenjak diundangkan sehingga kasus-kasus sebelum itu tidak bisa diajukan ke pengadilan.

Sedangkan dari kasus pilkada sangat terlihat sekali putusan MK yang ambivalen, dengan menyatakan bahwa Pilkada tidak termasuk pemilu dalam pasal 22E akan tetapi termasuk kedalam pasal 18 UUD 1945, walaupun ada sebagian tentang bentuk peratanggungjawaban yang menjadikan KPUD menjadi lembaga independen, sedangkan di dalam pertimbangan hukumnya MK berharap nantinya penyelenggara pemilu adalah KPU, pertimbangan ini membuat MK seakan-akan hendak menyatakan bahwa yang gugatan dari KPUD dan 5 LSM pemantau adalah benar akan tetapi dapat diwujudkan nanti. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang independen atau tidaknya Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan ataukah ada hal-hal lain yang membuat keindependen ini bergeser.

Dan yang peling mengejutkan ketika MK dengan adanya kasus gugatan dari KADIN UKM yang mengajukan judicial review mengenai UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan pasal UU No 1 tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Dan dengan gugatan tersebut MK memperluas kewenangannya (meminjam istilah dari Albert Hasibuan) menjadi sangat luas. Pasal 50 UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi membatasi kewenangan judicial review MK “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, jadi MK hanya boleh menjudicial review sesudah UU tentang MK diundangkan. Akibat dari penghapusan pasal 50 maka MK bisa menjudicial review seluruh UU yang dilahirkan sebelum perubahan UUD 1945.

Ada hal yang menarik tentang dissenting opinion dari Achmad Rustandi yang menyatakan secara etika maka MK tidak bisa menjudicial review UU tentang Mahakamah Konstitusi itu sendiri, Achmad Rustandi mengambil kesimpulan ini dengan memeperbandingkan dengan hakim dalam perkara umum, perdata/pidana yang secara norma persidangan harus mengundurkan diri jika kasus yang akan ditangani berkaitan atau berhubungan dengan dirinya, dan hal ini menurutnya sama sekali bukan berarti meragukan imparsialitas dan integritas pribadi para hakim, melainkan merupakan kepatutan yang telah diakui secara universal (Achmad Roestandi)[3]. Jadi menurut salah seorang hakim MK sendiri secara sadar telah melanggar norma persidangan dan ditambah dengan adanya pendapat Natabaya yang menyatakan dalam dissentingnya bahwa jika MK menerima permohonan judicial review ini maka MK berarti telah menanggalkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar melalui pembentuk undang-undang (wetgever)[4].

Menurut Laica Marzuki MK jika menerima permnohonan ini maka berarti MK telah melucuti kewenangan formeel recht yang diberikan de wetgever(pembentuk undang-undang) pada dirinya. Padahal formeel recht dibuat guna menegakkan kaidah hukum materiil[5]. Dari 3 pendapat Hakim Konstitusi tersebut dapat kita ambil bahwa secara hukum MK telah melampaui kewenangannya dengan menghapus pasal 50 UU No 24 tahun 2003.

Mengutip dari Lord Acton yang seringkali dipakai untuk menggambarkan kekuasaan “ Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” maka gambaran MK pada saat ini adalah lembaga yang super yang bisa membatalkan pasal dalam UU pembetukannya sendiri. MK dengan putusannya telah mengambil kewenangan legislatif (legislative review) menjadi kewenangan MK, jika hal ini tidak ada yang mengontrolnya maka MK akan masuk dalam kategori lembaga yang dikatakan oleh Lord Acton, sehingga sangat berbahaya bagi MK dan bagi demokrasi itu sendiri, walaupun penulis percaya pribadi-pribadi dalam MK adalah pribadi mulia yang bercita-cita menegakkan hukum dinegara tercinta.

Tidak ada lembaga menurut UUD yang bisa mengontrol MK terkecuali MPR melalui UUD, sudah saatnya lembaga MPR berfikir secara konstruktif untuk membatasi kewenangan MK karena siapa tahu disuatu saat nanti MK tidak bisa menjaga kedemokratisannya dan kemuliannya. Karena secara logis MK pada saat ini adalah lembaga peradilan yang demokratis jika dilihat dari dissenting opinion dan birokrasi yang mudah. Viat Justicia Constitution!

Muhammad Mova Al Afghani lawyer at Lubis Ganie Surowidjojo

Rahmat Bagja, former researcher at PSHTN UI and now work at Widjojanto, Sonhadji & Associates



[1] Mahkamah Konstitusi, Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta 2004

[3] dissenting opinion Achmad Roestandi, Putusan MK No 066/PUU-II/2004

[4] Natabaya, ibid

[5] Laica Marzuki, ibid

Monday, March 31, 2008

Urgensi Amandemen UUD 1945 (jurnal)

URGENSI PERUBAHAN UUD 1945

I. Pendahuluan

Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 merupakan sebuah dorongan dari gerakan reformasi. Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik didasarkan pada pandangan bahwa dalam UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. UUD 1945 sebelum perubahan merupakan sebuah UUD yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.[1]

Dalam suasana politik dan hukum bernegara ada beberapa praktek yang dilakukan oleh negara dan pemerintah yang tidak sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Praktek-praktek yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 antara lain, sebagai berikut:

  1. Tidak adanya mekanisme checks and balances yang baik antara lembaga negara dan kekuasaan yang terpusat pada Presiden.
  2. Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berkekspresi sehingga tidak dapat berfungis sebagaimana mestinya.
  3. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
  4. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli dan monopsoni.[2]

Praktek bernegara yang berjalan selama 32 tahun menjadi suatu praktek bernegara yang dipaksakan oleh pihak pemerintah (eksekutif) kepada seluruh pihak legislative dan yudikatif tanpa koreksi. Seharusnya praktek bernegara yang dipraktekkan atas kesepakatan bersama dan didasari atas pemikiran yang demokratis sehingga checks and balances dapat berjalan dengan baik.

Perkembangan pemikiran rasional atas ide bernegara yang semakin dinamis disertai berbagai pemikiran yang secara mendunia diterima seperti ide-ide demokrasi, hak azasi manusia dan checks and balances antar lembaga Negara menjadikan sebuah hukum dasar /konstitusi menjadi penting untuk berubah. Menurut Hegel ”The constitution is rational (vernuenftig) inasmuch as the state differentiates its operation (Wirksamkeit) according to the nature of the concept and likewise determines it. This works as follows; each of the powers is a totality in itself, because it contains the other powers (momente) as effective in itself, yet at the same time they remain part of the state’s ideal form by expressing differences of its concept and still constitute only one ideal whole”[3] Konstitusi yang baik tidak hanya didasarkan atas kemauan penguasa, akan tetapi didasari atas pemikiran yang rasional dan ideal tentang sebuah tujuan Negara dan disepakati oleh semua masyarakat.

Perkembangan sistem ketatanegaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia setelah diadakan perubahan tahun 1999 telah berjalan hampir 8 tahun. Perubahan UUD bertujuan untuk menata kembali kehidupan bernegara yang selama 32 tahun dianggap tidak berjalan dengan baik walaupun selama 32 tahun tersebut dikenal jargon bahwa pemerintahan “menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”.

Perubahan UUD 1945 ditahun 2002, akhirnya menghasilkan 5 Naskah UUD 1945, yaitu : UUD 1945, Perubahan I UUD 1945, Perubahan II UUD 1945, Perubahan III UUD 1945 dan Perubahan IV UUD 1945.[4]

Pada proses pembahasan perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR RI, maka Panitia Ad Hoc I menyusun berbagai kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu:

  1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Mempertegas sistem pemerintah presidensiil
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan UUD 1945 harus dimasukkan kedalam pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh UUD 1945.
  5. Perubahan dilakukan dengan cara ”adendum”.[5]

II. Kelemahan Amandemen UUD 1945

1. Perubahan UUD 1945

Tujuan Perubahan UUD 1945

  1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 itu yang berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
  3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
  4. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat dan transparan, pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
  5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan.
  6. Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara dan perjuangan negara untuk mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum
  7. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasi ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.[6]

Perubahan UUD 1945 telah banyak memberikan dinamika ketatanegaraan Republik ini. Masyarakat Indonesia setidak-tidaknya bisa bersuara dari berbagai lembaga negara dan sistem bernegara yang diperkenalkan oleh Perubahan tersebut, diantaranya: Penegasan fungsi badan legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta diperkenalkan sistem checks and balances yang lebih baik daripada UUD 1945 awal. Pada Perubahan UUD ini juga diperkenalkan lembaga-lembaga negara baru dan mekanisme baru, yaitu: Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah dan yang paling penting adalah Pemilihan Umum langsung.

Lembaga-lembaga yang baru dalam UUD 1945 telah memperlihatkan struktur pemisahan kekuasaan yang lebih baik daripada UUD 1945 sebelum perubahan. Pemisahan kekuasaan diperlihatkan dari 7 organ utama pelaksana kedaulatan rakyat: 1. Presiden sebagai pelaksana eksekutif, 2. DPR sebagai pelaksana kekuasaan legislatif, 3. MPR sebagai pelaksanan kekuasaan legislatif, 4. DPD sebagai pelaksana kekuasaan legislatif, 5. Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif, 6. Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif, 7. BPK sebagai pelaksana kekuasaan legislatif (salah satu fungsi legislatif adalah mengawasi kekuasaan eksekutif).

Mekanisme pemilihan umum yang baru yang diperkenalkan dalam UUD 1945 adalah: 1. Pemilihan Umum secara langsung untuk Pemilihan Presiden, 2. Pemilihan Umum untuk memilih wakil rakyat baik DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan memilih tanda gambar partai politik dan nama wakil rakyat. 3. Mekanisme pemilihan secara langsung anggota DPD.

Dilihat dari substansi UUD 1945 maka UUD 1945 telah memenuhi kriteria sebagai sebagi sebuah konstitusi, seperti yang diungkapkan oleh menurut Wheare. KC Wheare memperkenalkan definisi konstitusi sebagai:The whole system of government of a country, the collection of rules which establish and regulate or govern the government (1996, 1)[7]. Walaupun dalam perkembangan pengertian konstitusi kita dapat mengambil pula definisi dari Paine. Definisi ini merupakan definisi yang lebih tua dari definisi Wheare. akan tetapi lebih lengkap:

“ A constitution is not the act of government, but of people constituting a government, and a government without constitution is power without right…. A constitution is a thing antecedent to a government; and a government is only the creature of a constituition (1792, Pt II, p.93)[8]

Pada perjalanan UUD 1945 setelah diadakan perubahan maka terlihat berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dalam materi UUD 1945. Sidang Tahunan MPR tahun 2002 telah berakhir, sidang yang memakan biaya lebih dari 20 milyar ini akhirnya menuntaskan tahapan akhir dari seluruh rangkaian proses Amandemen UUD 1945. Tahapan itu menuntaskan beberapa materi penting antara lain tentang struktur dan komposisi MPR, Pemilihan Presiden langsung, peranan negara dan agama pada Pasal 29, otoritas moneter, Pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan. Dan aturan peralihan yang salah satunya akan mengatur soal pemberlakuan hasil amandemen itu sendiri.

Rangkaian proses amandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah empat kali menyelesaikan Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999. Proses amandemen itu jumlah pasal memang tetap 37 tetapi 10 pasal memiliki cabang ( 6A, 7A, 7B, 7C, 18 A, 18 B, 20 A, 22 A, 22B, 22 C, 22 D, 22E, 23 A, 23 B, 23 C, 23 D, 24 A, 24 B, 24 C, 25 A, 28 A, 28 B, 28 C, 28 D, 28 F, 28 G, 28 H, 28 I, 28 J, 36 S, 36 B, 36 C) sebagaimana juga babnya tetap terdiri 16 Bab tetapi juga mempunyai cabang (VII A, VII B, VIII A, IX A, X A) dan penambahan sejumlah ayat baru. UUD 1945 sebelumnya terdiri 37 Pasal, 16 Bab, 65 Ayat, 4 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan. Maka bandingkan dengan amandemen UUD 1945 satu hingga empat yang terdiri dari 37 Pasal (72 Pasal jika berikut cabang), 16 Bab (21 Bab jika berikut cabang), 191 Ayat, 3 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan tambahan. Maka total amandemen 1- 4 UUD 1945 menghasilkan 196 Ayat, yang terdiri 166 butir perubahan dan 30 butir tidak berubah. Dalam perubahan ini Ramlan Surbakti mengatakan perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 dalam prakteknya bukan amandemen biasa, karena mencakup pasal yang begitu banyak tetapi juga bukan pembuatan UUD baru karena baik pembukaan maupun banyak pasal yang tetap. (Disampaikan pada Seminar Nasional FH.Usakti 15 Agustus 2002). [9]

Amandemen pertama yang dimulai pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah melakukan perubahan terhadap 9 Pasal yang meliputi Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2 dan 3), Pasal 20, dan Pasal 21. sedangkan Amandemen kedua telah melakukan perubah sebanyak 7 Bab dan 25 Pasal yang yang meliputi Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20 A, Pasal 22 A, Pasal 22 B, BAB IX A, Pasal 25 E, BaB X, Pasal 26 Ayat (2 dan 3), Pasal 27 Ayat (3), BAB XA, Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal 28 E, Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I, Pasal 28 J, BAB XII, Pasal 30, BAB XV, Pasal 36 A, Pasal 36 B, dan Pasal 36 C. Kemudian dilanjutkan dengan Amandemen ketiga yang meliputi Pasal 1 Ayat (1,2,3, dan 5), Pasal 7 A, Pasal 7 B Ayat (1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7), Pasal 7 C, Pasal 8 Ayat (1, 2), Pasal 11 Ayat (2, 3), Pasal 17 Ayat (4), BAB VII A, Pasal 22 C Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 22 D Ayat (1, 2, 3, dan 4), BAB VII B, Pasal 22 E Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6), Pasal 23 Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 A, Pasal 23 C, BAB VIII A, Pasal 23 E Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 F Ayat (1 dan 2), Pasal 23 G Ayat (1 dan 2), Pasal 24 Ayat (1 dan 2), Pasal 24 A Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 24 B Ayat (1, 2, 3, dan 4), dan Pasal 24 C Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6).[10]

Sedang proses Amandemen ke–4 ini mengubah dan menetapkan antara lain, perubahan penomoran Pasal 3 Ayat (3) dan Ayat (4) perubahan ketiga UUD 1945 menjadi Pasal 3 Ayat (2) dan Ayat (3). Pasal 25 E perubahan kedua UUD 1945 menjadi Pasal 25 A. Kemudian menghapus judul BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan mengubah substansi Pasal 16 serta menempatkannya ke dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dan selanjutnya merubah dan/ atau menambah Pasal 2 Ayat (1), Pasal 6 A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1), Pasal 16, Pasal 23 B, Pasal 23 D, Pasal 24 Ayat (3), Pasal 29 Ayat (1) dan (2), BAB XIII, Pasal 31 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 32 Ayat (1 dan 2), BAB XIV, Pasal 33 Ayat (4 dan 5), Pasal 34 Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 37 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan Pasal Idan II Undang-Undang Dasar 1945.[11]

Perkembangan selanjutnya adalah kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitas lembaga negara menjadi dinamis dan dilingkupi oleh suasana konstitusi yang sangat kental. Akselerasi Perkembangan ketatanegaraan semakin meningkat dengan adanya berbagai permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi yang berakibat semakin dekatnya masyarakat terutama kaum elit negara ini terhadap pentingnya pengaturan norma-norma dasar dalam konstitusi. Hal ini, sejalan dengan cita-cita dan keinginan pembuat UUD agar UUD 1945 dianggap sebagai aturan tertinggi diantara peraturan-peraturan yang lain (Presupposing the basic norm, the constitution is the highest level within national law)[12]

Untuk menguraikan berbagai kelemahan yang terjadi dalam proses dan materi perubahan UUD 1945 maka harus dilihat dari dua sudut pandang yaitu dari segi proses dan substansi. Kelemahan baik dari segi proses dan substansi merupakan sebuah evaluasi dalam persiapan pembuatan ataupun perubahan UUD, sehingga dapat diambil suatu masukan dalam membentuk Perubahan kelima yang akan datang

2. Kelemahan Amandemen dari segi proses:

  1. Tidak membuat kerangka dasar perubahan dan content draft

MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 tidak membuat dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan (preliminary) yang dapat ditawarkan kepada publik untuk dibahas dan diperdebatkan. Content draft yang didasari paradigma yang jelas yang menjadi kerangka (overview) tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas dan mendalam mengenai hubungan negara dengan warga negara, negara dan agama, negara dengan negara hukum, negara dalam pluralitasnya, serta negara dengan sejarahnya . Juga eksposisi yang mendalam tentang esensi demokrasi, apa syaratnya dan prinsip-prinsipnya serta check and balancesnya bagaimana dilakukan secara mendalam. Nilai/ values merupakan kerangka dasar yang harus dinyatakan dalam setiap kosntitusi sebuah negara, sehingga negara yang berdiri atas nilai-nilai ideal yang diperjuangkan akan terlihat Sebuah pernyataan dari Brian Thompson akan sangat baik jika harus melihat sebuah nilai dalam kerangka dasar konstitusi ”A constitution can express the values which its framers have for their country. These values may be seen in the type of governmental institutions which are created, and in the declaration of rights of the citizens. Values will be found particularly in preamble”. [13]

  1. Amandemen yang parsial dan tambal sulam

MPR lebih menekankan perubahan itu dilakukan secara adendum, dengan memakai kerangka yang sudah ada dalam UUD 1945. Cara semacam ini membuat perubahan itu menjadi parsial, sepotong-sepotong dan tambal sulam saja sifatnya. MPR tidak berani keluar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang relevansinya sudah tidak layak lagi dipertahankan. Proses Amandemen secara parsial seperti diatas tidak dapat memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk. Sehingga terlihat adanya paradoks dan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya yang telah diputuskan. Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang secara redaksional maupun sistematikanya yang tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya, penetapan prinsip sistem Presidensial namun dalam elaborasi pasal-pasalnya menunjukkan sistem Parlementer yang memperkuat posisi dan kewenangan MPR/DPR.

  1. Adanya bias kepentingan politik

MPR yang dikarenakan keanggotaannya terdiri dari fraksi-fraksi politik menyebabkan dalam setiap pembahasan dan keputusan amat kental diwarnai oleh kepentingan politik masing-masing. Fraksi-fraksi politik yang ada lebih mengedepankan kepentingan dan selera politiknya dibandingkan kepentingan bangsa yang lebih luas. Hal ini dapat dilihat dari pengambilan keputusan final mengenai Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh sekelompok kecil elit fraksi dalam rapat Tim Lobby dan Tim Perumus tanpa adanya risalah rapat.

  1. Partisipasi Semu

Sekalipun dalam mempersiapkan materi perubahan yang akan diputuskan MPR melalui Badan Pekerjanya, melibatkan partisipasi publik baik kalangan Profesi, ornop, Perguruan Tinggi, termasuk para pakar/ahli. Namun partisipasi tersebut menjadi semu sifatnya dan hanya melegitimasi kerja MPR saja. Dalam kerja BP MPR ini rakyat tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan dan turut menentukan apa yang diinginkan untuk diatur dalam konstitusinya, MPR jugalah menentukan materi apa yang boleh dan tidak boleh.

MPR hanya membatasi pada materi-materi yang belum diputuskan dan dalam penyerapannya yang tidak mencakup seluruh wilayah. Pembatasan itu jelas akan memperpanjang inkonsistensi nilai dan sistematika yang ada. Jelas hal ini merupakan bagian dari pemenjaraan secara politis untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan fraksi yang ada di MPR. Sedangkan dalam penyerapan dan sosialisasi (uji sahih), BP MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi publik untuk dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi kepentingannya. Termasuk dalam proses amandemen yang keempat, MPR tidak melakukannya secara intensif dan luas kepada seluruh lapisan masyarakat diseluruh wilayah Indonesia.

Alasan keterbatasan dana yang dikemukakan oleh MPR RI sebagai alasan untuk membatasi uji sahih, kami anggap sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab. Apalagi tampak bahwa pihak MPR tidak pernah mengeluh kekurangan dana apabila akan melakukan sosialisasi atau studi banding ke keluar negeri yang telah memakan biaya besar pada tahun-tahun sebelumnya.

Substansi yang disosialisasikan pada proses uji sahih ini juga dibatasi pada materi yang belum diputuskan dan beberapa materi yang tidak dapat dirubah. Publik tidak akan dapat memberikan penilaian terhadap substansi Amandemen pertama sampai keempat yang telah dilakukan oleh MPR selama ini. Menurut hemat kami ini merupakan indikasi pengingkaran MPR terhadap prinsip kedaulatan rakyat. MPR telah bertindak diatas konstitusi yang semestinya adalah milik semua rakyat untuk dapat mengusulkan dan menentukan.

  1. Tidak intensif dan maksimal

Dalam proses itu ada keterbatasan waktuyang dimiliki oleh anggota MPR , terutama anggota Badan Pekerja yang diserahi tugas mempersiapkan materi Amandemen UUD 1945 karena merangkap jabatan sebagai anggota DPR RI dengan beban pekerjaan yang cukup banyak. Terlebih lagi, sebagai parpol di DPR, anggota–anggota ini diharuskan untuk ikut berbagai rapat/pertemuan yang diadakan oleh DPR atau partainya sehingga makin mengurangi waktu dan tenaga yang tersedia untuk dapat mengolah materi Amandemen UUD 1945 sekaligus melakukan konsultasi publik secara lebih efektif. Akibatnya kualitas materi yang dihasilkan tidak memuaskan. Padahal, konstitusi adalah suatu Kontrak Sosialanatra rakyat dan negara sehingga proses perubahannya seharusnya melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik.

3. Kelemahan dari segi substansi

Perubahan yang tercermin dalam Perubahan UUD 1945 berlangsung cepat dan dalam skala yang sangat luas dan mendasar. Perubahan UUD 1945 dari naskahnya yang asli sebagai warisan zaman proklamasi tahun 1945 yang hanya berisi 71 butir kaedah dasar, sekarang dalam waktu empat kali perubahan, telah berisi 199 butir kaedah hukum dasar. Perubahan-perubahan substantif itu menyangkut konsepsi yang sangat mendasar dan sangat luas jangkauannya, serta dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu secara bertahap selama empat kali dan empat tahun. [14]

Dalam waktu yang sangat singkat, Perubahan UUD 1945 dilakukan sehingga sampai saat ini ada berbagai kelemahan yang menghinggapi UUD 1945. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah:

  1. Tidak adanya paradigma yang jelas.

Model rancangan perubahan UUD 1945 yang ada sekarang, dimana semua alternatif perubahan dimasukkan dalam satu rancangan, membuka peluang lebar bagi tidak adanya paradigma, kurang detailnya konstruksi nilai dan bangunan ketatanegaraan yang hendak dibentuk dan dianut dengan perubahan tersebut. Persoalan nilai yang hendak dibangun secara prinsip telah ada dalam Pembukaan UUD 1945, hal itu juga merupakan sebab untuk tidak dirubahnya Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai yang secara prinsip tersebut tidak diatur dengan jelas pada batang tubuh UUD 1945. Persoalan seperti nilai/value pembangunan ekonomi yang hendak dibangun pada UUD 1945 setelah perubahan. Apakah yang dimaksud dengan azas kekeluargaan tidak pernah jelas dikemukakan oleh negara. Bagaimanakah cara dan proses menjalankan azas kekeluargaan dalam sistem perekonomian juga menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah diselesaikan oleh negara. Hal-hal tersebut

  1. Inkonsistensi rumusan.

MPR dalam melakukan amandemen UUD 1945, banyak menghasilkan rumusan-rumusan yang paradoks dan inkonsistensi. Keberadaan MPR dalam posisinya sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena perannya juga seperti lembaga legislatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasaan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi superbody yang tidak dapat dikontrol.

  1. Tidak Sistematis

MPR dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana yang telah dibahas pada prosesnya, tidak mau atau tidak berani keluar dari kerangka dengan mendekonstruksikan prinsip dan nilai UUD 1945 yang relevansinya saat ini sudah layak dipertanyakan. MPR tidak mendasarinya dengan ide-ide konstitusionalisme, yang esensinya merupakan spirit/jiwa bagi adanya pengakuan Hak Azasi Manusia dan lembaga-lembaga negara yang dibentuk untuk melindungi HAM dibatasi oleh hukum.

III. Kesimpulan

Ada 5 hal yang setidak-tidaknya menjadi prioritas dalam Amandemen Ke V UUD 1945. Prioritas tersebut antara lain, yaitu:

1. Sistem Perwakilan Rakyat

Dengan Perubahan keempat UUD 1945, MPR hanya merupakan gabungan antara anggota DPR dan DPD. Kewenangan MPR sekarang tinggal empat hal, yaitu mengubah dan menetapkan UUD, malantik Presiden dan wakilnya, memberhentikan Presiden dan atau wakilnya dalam masa jabatannya, dan terakhir memilih Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan Wakil Presiden pada masa jabatannya. Dalam sistem perwakilan rakyat pada Amandemen UUD 1945 banyak yang harus menjadi catatan, yaitu sebagai berikut :

  1. MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakannya sebagai suatu lembaga ”supra”, bahkan diatas konstitusi, karena masih berwenang melakukan perubahan terhadap UUD 1945, dan menentukan keputusan impeachment terhadap presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi serta wewenang untuk melakukan Judicial Review. Sifat supra dari MPR menunjukkan bahwa ada karakteristik sistem Parlementer yang masih kuat dalam sistem ketatanegaraan sehingga terjadi kerancuan dalam bernegara karena disatu pihak Presiden melaksanakan Sistem Presidensiil sedangkan DPR/MPR seringkali menginterprestasikan kinerjanya berdasarkan Sistem Parlementer. Tidak terjadi sistem checks and Balances atau akuntabilitas horizontal yang jelas antara lembaga negara. Seharusnya MPR setelah adanya DPD bukan lagi merupakan sebuah lembaga karena sudah ada DPR dan DPD yang melakukan tugas dan fungsinya kalaupun masih ada MPR hanya sebagai sebuah (joint session) lembaga pertemuan yang dibentuk jika DPR dan DPD ingin melakukan sebuah perubahan UUD.
  2. Sistem parlemen yang terjadi adalah sistem parlemen yang soft bicameralism, sehingga tidak terjadi mekanisme bikameral yang baik antara Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat yang pra amandemen mempunyai kewenangan yang tidak begitu kuat setelah amandemen berbalik menjadi sebuah lembaga yang mempunyai kekuatan yang sangat besar, bahkan melebihi ”saudara barunya/DPD”. Sehingga pada saat ini terlihat kekuasaan yang begitu besar yang dipunyai oleh DPR. DPD tidak menampakkan prestasi yang baik sampai saat ini, hal ini dapat dilihat dari hampir tidak ada RUU yang diajukan oleh DPD pada permasalahan otonomi daerah. Dari hal inipun tidak jelas mekanisme checks and balances yang dipunyai oleh DPR Dan DPD dalam kerangka kekuasaan legislasi.

2. Sistem Mekanisme Check and Balances antar lembaga negara

Amandemen I-IV UUD 1945 telah menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku, meliputi jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan, dan sistem perwakilannya. Pada sisi lain, paradigma perubahan UUD mencoba diletakkan dalam kerangka checks and balances sehingga memungkinkan terjadinya saling kontrol antara satu cabang kekuasaan dan cabang kekuasaan yang lain. Implikasi dari penerapan sistem checks and balances tersebut akan berpotensi menimbulkan berbagai macam sengketa, salah satunya adalah sengketa kewenangan antar lembaga negara.[15]

Mekanisme checks and balances yang timpang pada lembaga negara mengakibatkan beberpa lembaga negara mengeluarkan beberapa putusan kontroversial terutama pada kekuasaan kehakiman. Hal ini dapat kita lihat pada MK yang pada tanggal 12 April 2005 Mahkamah Konstitusi mengejutkan kita dengan menguji Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 (“UUMK”) yang tidak lain adalah undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi (“MK”) sendiri. Dalam pengujiannya terhadap UUMK tersebut, MK membatalkan Pasal 50 dari UUMK yang melarang MK untuk menguji undang-undang yang dibuat setelah adanya perubahan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan dibatalkannya Pasal 50 UUMK, kini MK memiliki wewenang untuk menguji seluruh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, tanpa batasan waktu.

MK pun pada UU KPK menyatakan bahwa Pengadilan TIPIKOR bertentangan dengan konstitusi karena diatur dalam UU KPK tidak oleh UU tersendiri. Dan ultra petita diulang kembali pada putusan 3 tahun diberi waktu untuk membuat UU pengadilan TIPIKOR tersendiri. kekuasaan MK yang demikian luas harus dibatasi – tidak ada jalan lain-- lewat Undang-Undang Dasar. UUD harus dirubah sehingga mendefinisikan dengan jelas rationne temporis (keberlakuan waktu) dan rationne materiae (meteri pengujian) yang masuk dalam kewenangan MK. Hal ini penting karena jika tidak ada yang mengontrolnya maka MK akan masuk dalam kategori lembaga yang hampir memiliki absolute power. Lord Acton pernah mengatakan, power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely.

Apabila akhirnya kewengan rationne temporis MK dibatasi oleh UUD untuk dapat menguji UU yang diberlakukan pasca Perubahan UUD 1945 maka akan timbul pertanyaan lain: bagaimana halnya dengan putusan-putusan MK yang terlanjur menguji produk UU sebelum Perubahan UUD 1945?.[16] Perlulah kiranya kita membuat mekanisme checks and balances yang jelas antar lembaga Negara terutama lembaga yang mempunyai kekuasaan kehakiman.

3. Hak Azasi Manusia

Amandemen UUD 1945 dalam hal Hak Azasi Manusia menempatkan Amandemen Kedua UUD 1945 adalah hal yang paling signifikan dalam mengatur Hak Azasi Manusia. Di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia ini terdapat sebanyak 10 pasal 24 ayat yang mengatur prinsip-prinsip penting tentang nilai dan prinsip kemanusiaan. Di satu sisi, mungkin sulit untuk menyangkal bahwa perumusan begitu banyak merupakan indikasi adanya komitmen di sebagian anggota majelis untuk mempromosikan dan menjamin pelaksanaan penegakan hak asasi. Namun demikian, ada beberapa masalah yang perlu diajukan karena masalah tersebut potensial mengingkari pelaksanaan penegakan hak asasi secara konsisten dan menempatkan pasal-pasal hak asasi di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia hanya menjadi sebuah prinsip yang tidak mempunyai daya enforcement.

4. Mekanisme Pemberian Sanksi Jika Isi UUD 1945 Tidak Dilaksanakan.

Tidak adanya batasan yang jelas bagaimana jika pemerintah/eksekutif, parlemen/legislatif dan peradilan/yudikatif melanggar isi UUD 1945. Yang diatur hanyalah jika Presiden melanggar UUD 1945, akan tetapi hal tersebut tergantung pada kekuasaan lain. Hal ini tidak menjadi permasalahan jika mekanisme checks and balances berjalan dengan baik. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Anggaran Pendidikan yang mengharuskan pemerintah tetap menjalankan anggaran pendidikan sebesar 20 % diabaikan oleh pemerintah maupun DPR. Hal ini, jika dibiarkan terus menerus akan menimbulkan preseden yang sangat buruk bagi sebuah negara hukum. Pelanggaran serius yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kekuasaan negara tidak tersentuh, walaupun kontrol masyarakat berupa judicial review telah dilakukan.

5. Mekanisme Perubahan

Sebagai kontrak sosial sebuah UUD harus jelas mekanisme perubahannya, dan diberikan waktu yang cukup untuk merubah dan merevisi UUD. Harus difikirkan untuk membentuk sebuah badan yang seperti Komisi Konstitusi dan mempunyai waktu dan wewenang yang cukup untuk merubah UUD secara menyeluruh ataupun mensinkronisasi UUD sehingga baik secara proses maupun substansi. Jika pembentukan Komisi Konstitusi kembali diserahkan kepada BP MPR atau minimal melalui kewenangan Badan Pekerja MPR ditakutkan kelemahan- kelemahan yang terjadi pada amandemen atu hingga empat akan kembali menyesatkan. Sebagaimana yang dikemukakan professor politik dari Colombia University, Jon Elster : “Menugaskan (reformasi konstitusi) terhadap sebuah lembaga yang juga berperan sebagai badan legislatif, sama saja seperti menugaskannya untuk berperan sebagai hakim dalam kasus yang menimpa dirinya sendiri”. Apa yang akan terjadi di Indonesia, kasus di Bulgaria bisa menjadi cermin dalam hal ini. Proses penyusunan konstitusi baru yang yang dilakukan oleh Parlemen- yang dimulai tidak lama setelah rezim komunis jatuh tahun 1989 dan selesai tahun 1991- ternyata menghasilkan konstitusi yang memberikan kewenangan yang berlebihan pada dirinya sendiri. Akhirnya konstitusi baru Bulgaria yang diharapkan menjadi faktor terjadinya proses demokratisasi, malah sering menjadi faktor ketidak menentuan politik di negara itu[17]

Jakarta, 05 Juni 2007

Rahmat Bagja

KaDiv. Konstitusi KRHN

Tulisan dikutip dan banyak diambil dari intisari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)



[1] MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta, 2003., h. 7.

[2]ibid, h.14.

[3] C.J. Friedrich, The Philosophy of Hegel, The Modern Library, New York, h. 292

[4] Pidato Keynote Speaker Ketua Mahkamah Konstitusi, pada pembukaan acara Bedah Buku “ The New Indonesian Constitutional Court, A Study into its beginnings and first years of work”by Petra Stockman, Hotel Nikko, Jakarta

[5] MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta, 2003., h.25.

[6] MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta, 2003., h.15

[7] Hilaire Barnett, Constitutional and Administrative Law, Cavendish Publishing, 2004, h.7

[8] Ibid, h.7

[9] Penelitian KRHN, Kritik Terhadap Perubahan I-IV UUD 1945,

[10] ibid

[11] ibid

[12] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, h.124

[13] Brian Thompson, Constitutional and Administrative Law, Blackstone Press Limited, 1997, h.15

[14] Jimly Ashhdiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h. 348

[15] Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Cet.1, Jakarta. 2005, h. 114.

[16] M. Mova Al Afghani dan Rahmat Bagja, Ketika Mahkamah Konstitusi Menjadi Superbody, www.theceli.com

[17] Penelitian KRHN

Thursday, March 27, 2008

HARMONISASI PERAN PENEGAK HUKUM

HARMONISASI PERAN PENEGAK HUKUM DALAM

PEMBERANTASAN KORUPSI

I. LATAR BELAKANG

Korupsi dalam beberapa tahun ini telah memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia akan kesistematikan dan tingkat keparahan yang sangat tinggi, sehingga diperlukan upaya-upaya yang serius dan signifikan terhadap pemberantasannya. Hal inipun tercermin dalam konsideran UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara jelas menyebutkan bahwa ” tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hal sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”[1]

Bangsa-bangsa di duniapun akhirnya menyadari tingkat parahnya korupsi dinegara-negara yang ada didunia sehingga pada akhirnya lahirlah United Nations Convention against Corruption yang menandai babak baru dalam perlawanan masyarakat dunia terhadap korupsi. Dalam pembukaan UNCAC dapat kita lihat pernyataan masayrakat dunia tentang keprihatinan yang mendalam terhadap korupsi ”concerned about seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law[2]

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disebutkan harus dilakukan secara luar biasa harus diakui merupakan pengakuan bahwa kejahatan korupsi yang selama ini ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah mencapai pada taraf tersistematisir dengan berbagai pola, menyeluruh (hampir disemua bidang ada), dan sulit ditanggulangi. Sehingga yang menjadi korban pada akhirnya adalah masyarakat. Masyarakat yang tidak tahu menahu dibebankan biaya ekonomi yang cukup tinggi akibat korupsi yang menyeluruh disegala bidang.

Peran masyarakat yang menjadi korban utama dari perbuatan ini sangat penting dalam meningkatkan akselerasi dalam memberantas korupsi. Akan tetapi peran masyarakat yang tinggi tetap akan membentur tembok yang sangat kuat jika aparat penegak hukum tidak bekerja secara serius dan sistematik dalam melawan korupsi.

Keseriusan Aparat Penegak Hukum dalam pemberantasan korupsi harus diperlihatkan dengan pembenahan yang sistemik, yang didasari atas fakta dan kondisi nyata dilapangan. Tidak serta merta apa yang ada dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam praktek dilapangan, ataupun apa yang ada dilapangan merupakan buah yang baik dari sistem peraturan perudang-undangan kita. Harus ada sinergi dalam praktek kerja penegak hukum dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

II. PERMASALAHAN

Pada tahun 1983, Komisaris ICAC Peter Williams menyampaikan pidato pada sebuah konferensi internasional. Dalam keadaan seperti apakah masuk akal bagi suatu negara untuk mendirikan sebuah badan anti korupsi independen? Jawabannya adalah”

” Pertama: Keadaan korupsi di masyarakat sudah mencapai tingkat yang kritis atau traumatis sehingga dirasa cukup untuk menuntut pihak-pihak berwenang bahwa diperlukan suatu badan penegakan hukum yang sama sekali baru untuk melawannya. Kedua: Untuk menjamin kepercayaan rakyat terhadap organisasi baru tadi, organisasi itu harus terpisah dari administrasi politik maupun eksekutif dan langsung bertangggungjawab pada kekuasaan tertinggi di negeri tersebut. Ketiga: Staf dan organisasi tersebut harus secara jelas mempunyai kejujuran dan integritas setinggi mungkin dan sanggup mempertahankannya. Keempat: Korupsi sebagai tindak kejahatan mat sulit diberantas, maka kewenanangan yang diberikan kepada badan baru tersebut harus luas sekali, kalau tidak mau dibilang kejam. Kelima: Harus diciptakan lagi suatu sistem independen yang terpercaya untuk menangani keluhan-keluhan terhadap badan baru itu. Keenam: Semua pertimbangan ini melibatkan sumber-sumber dana yang besar dan negara mau menyisihkan dana guna mendorong pelaksanaannya.”[3]

Pernyataan diatas merupakan sebuah evaluasi yang sangat menohok bagi aparat penegak hukum, terutama jika kita melihat kondisi korupsi yang semakin kritis, sehingga muncul banyak sekali ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus ataupun permasalahan korupsi. Aparat penegak hukum seharusnya lebih jeli dalam membaca situasi dan kondisi masyarakat pada saat ini. Adapun beberapa komponen Masyarakat Indonesia pada akhirnya menganggap penanganan kasus korupsi yang adil dan dilakukan oleh aparat penegak hukum yang ada hanyalah sebuah proses bargaining belaka, yang terungkap dan terhenti menjadi semacam sebuah sandiwara yang terus dimainkan oleh aparat penegak hukum. Hal inilah yang membuat banyaknya muncul lembaga-lembaga baru yang berfungsi untuk membantu aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi ataupun dalam mengawasi aparat penegak hukum itu sendiri.

Seharusnya dengan munculnya lembaga-lembaga baru bukan hanya untuk membantu aparat penegak hukum akan tetapi merupakan sebuah evaluasi yang dimunculkan oleh negara terhadap lembaga dan peran aparat penegak hukum yang ada. Diharapkan muncul kesadaran penegak hukum atas kesalahan ataupun kealpaan yang dilakukan oleh dirinya sendiri, sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk memperbaikinya.

Perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh institusi penegak hukum dapat mengambil konsep Good Governance Principle, seperti prinsip transparansi, kewajaran, keterbukaan dan akuntabilitas sehingga terciptanya proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang kondusif,efektif dan efisien.

A. Penegak Hukum

Dari latar belakang diatas dapat kita tarik berbagai prinsip untuk memberantas korupsi, antara lain:

Access to justice ( Akses kepada keadilan)

Timeliness of justice delivery ( Standar waktu untuk mencapai keadilan)

Quality of Justice delivery (Kualitas dari Keadilan baik itu penegak keadilan maupun putusan hakim)

Independence, impartiality and fairness of the judiciary (independensi, imparsialitas juga keterbukaan dari kekuasaan peradilan)

Public trust in the judiciary (Kepercayan Masyarakat pada kekuasaan kehakiman/peradilan)

Corruption in the justice sector[4] (Korupsi pada Sektor peradilan/aparat penegak hukum dan kita kenal sebagai mafia peradilan)

Dalam dunia penegakan hukum kita mengenal adanya Sistem Peradilan yang terbagi atas berbagai komponen penegak hukum. Sistem Peradilan kita memperkenalkan beberapa komponen penting dalam proses penegakan hukum, seperti:

1. Polisi

2. Jaksa

3. Hakim

4. Pengacara

Komponen-komponen penegakan hukum ini seharusnya membangun sinergisitas dalam menegakkan peraturan dan rasa keadilan masyarakat. Karena tuntutan masyarakat yang semakin berlimpah mengenai perwujudan keadilan, persamaan yang sama didepan hukum, Hak Azasi Manusia, dan juga akses yang terbuka untuk mencapai keadilan (acces to justice). Hal inilah yang memunculkan pembaharuan sistem hukum di Indonesia.

Pembaharuan hukum yang disertai dengan pembentukan sejumlah institusi baru telah dilakukan oleh negara dan pemerintahan kita semenjak Reformasi bergulir. Hal tersebut dapat kita lihat dengan berbagai adanya lembaga-lembaga baru yang didirikan melalui Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden. Pada awalnya ada beberapa lembaga yang dibentuk untuk mengatasi berbagai permasalahan seperti Komisi Nasional Hak Azasi Manusia yang diberikan kewenangan untuk memberikan jalan penyelesaian bagi pelanggaran Hak Azasi Manusia. Komisi Hukum Nasional yang memberikan masukan mengenai permasalahan hukum bagi pemerintah. Ada pula Komisi Pemilihan Umum yang dibuat untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum. Komisi-komisi diatas merupakan wujud dari keinginan pemerintah juga negara untuk menyelesaikan kasus-kasus dan permasalahan yang tidak terselesaikan pada masa yang lalu dan akan yang akan datang.

Ada hal menarik yang ada pada saat ini yaitu dengan adanya keinginan pemerintah untuk memerangi korupsi maka dibentuklah suatu badan yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertugas untuk.

Peran lembaga-lembaga baru setelah reformasi bergulir mau tidak mau membuat lembaga-lembaga yang ada harus berfikir dan menata ulang organisasinya kembali. Hal ini membutuhkan kerjasama dan koordinasi lembaga yang lebih baik terutama dalam bidang penegakan hukum tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Korupsi yang kita kenal sebagai sebuah penyakit endemik diseluruh lapisan masyarakat seharusnya mendapatkan perhatian dan kerjasama yang lebih dari penegak hukum, karena mau tidak mau korupsi merupakan sebuah perbuatan yang terencana, sistematis dan dibalut dalam kekuasaan atau kewenangan.

B. Kepolisian

Sejak diberlakukannya KUHAP sesungguhnya telah terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem peradilan pidana yang juga pasti akan mempengaruhi sistem penyidikan, hal ini disebabkan karena jiwa dan materi KUHAP yang berbeda dengan HIR (Herziene Inlands Reglement)[5].

Perubahan dari HIR menuju KUHAP sesungguhnya merupakan perubahan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Perubahan ini akhirnya terwujud dalam KUHAP yang disebut-sebut sebagai produk hukum terbaik pada zamannya. Perubahan ini akhirnya dipertegas dengan Pedoman Pelaksanaan KUHAP/Kep Menkeh RI: Nomor: M01.PW.07.03 tahun 1982 yang menyebutkan antara lain:

  1. Pembidangan tugas, wewenang dan tanggung jawab para petugas penegak hukum sesuai dengan wewenang dan tugas fungsi masing-masing pembidangan tersebut tidak berarti mengkotak-kotakkan tugas, wewenang dan tanggung jawab, tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi.
  2. Kedudukan Polri sebagai penyidik mandiri tidak dapat terlepas dari fungsi penuntutan dan Pengadilan, dimana terjalin adanya hubungan koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi pelaksanaan.

Menurut fungsinya kepolisian adalah salah unsur pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[6]. Dan secara garis besar tugas pokok dari Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[7]

Penegakan hukum di bidang korupsi selama ini yang dilakukan oleh kepolisian nampaknya masih kurang sehingga akhirnya dibuat sebuah lembaga baru yang dikenal sebagai KPK. Bahkan disinyalir polisi terlibat dengan korupsi itu sendiri, hal ini terlihat dari kasus yang menimpa Bareskrim Mabes POLRI yang menyeret petinggi POLRI kedalam penjara. Kerjasama antara kepolisian dan kejaksaan dalam hal penyidikan perkara korupsi yang selama ini terjalin belum memperlihatkan hasil yang serius. Bahkan didapat ada kasus yang terjadi bolak balik berkas perkara antara kepolisian dan kejaksaan

C. Kejaksaan

Visi Kejaksaan : ”Mewujudkan Kejaksaan sebagai penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila”[8]

Dan kejaksaan mempunyai misi yaitu:[9]

  1. Menyatukan tata pikir,tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum.
  2. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM
  3. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan ras keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.

Dalam perannya sebagai penegak hukum, jaksa merupakan salah satu unsur penting dari komponen untuk mewujudkan keadilan. Jaksa sebagai unsur pemerintah dalam menegakkan peraturan seharusnya menjadi pionir dalam penegakan hukum. Dalam penjelasan umum UU No.16 tahun 2004 juga disebutkan Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum untuk lebih berperan dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tapi amat disayangkan meskipun visi dan misi kejaksaan sudah mendukung pemberantasan KKN belum ada realisasi program pemberantasan KKN di lingkungan Kejaksaan sendiri.[10]

Sama seperti kepolisan peran Jaksa yang penting dalam membuktikan kasus korupsi dipersidangan akhirnyapun terasuki oleh bibit-bibit korupsi, kita dapat melihat kisruhnya kasus Jamsostek, yang melibatkan Jaksa Penuntut Umum pada kasus ini. Sehingga pola-pola korupsi seperti dakwaan yang diperingan atau membuat kabur dakwaan yang semula masih dikatakan hanya ”perasaan masyarakat” akhirnya terbongkar juga bahwa praktek ini disinyalir menjalar diseluruh kejaksaan.

D. Hakim

Unsur yang paling menentukan apakah koordinasi dan kerjasama antara Kepolisian dan Kejaksaan adalah Hakim. Hakimlah yang seharusnya mendapatkan pengetahuan dan kebijaksanaan yang lebih diantara aparat penegak hukum yang lain, karena hakim secara prinsip merupakan proses terakhir ataupun pintu terakhir yang menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan korupsi atau tidak. UU no 4 tahun 2004 menyebutkan: ”Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[11].

Praktek yang ada bahwa Pengadilan kita sebagai pemegang kekuasaan yudisial sangat tertutup dengan berdalih kekuasaan yudisial bebas dan independen. Banyak kasus yang memperlihatkan ketertutupan amat potensial memicu beragam penyimpangan, misalnya interaksi antara jaksa-pengacara-panitera-hakim dalam praktek suap dipengadilan. Hal inilah yang memicu praktek mafia peradilan yang selama ini ada. Seharusnya ada pertanggungjawaban publik yang jelas yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. Adanya Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas dan menjalankan fungsinya kemudian ditentang oleh para hakim agung karena berbagai hal. Hal inilah yang seharusnya membuat Mahkamah Agung harus berbenah diri karena jika tidak maka benarlah pendapat bahwa Pengadilan/kekusaan yudisial kita lebih tertutup daripada kekuasaan lainnya.

E. Advokat

Dengan adanya UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat, mau tidak mau advokat dimasukkan secara resmi kedalam unsur penegak hukum. Sistem Hukum Indonesia dan UUD 1945 menjamin adanya persamaan di depan hukum (equality before the law). Sehingga hak untuk didampingi advokat bagi seluruh masyarakat dijamin dalam system hukum Indonesia. Pendampingan oleh Advokat memiliki hubungan erat dengan prinsip-prinsip hukum yaitu equality before the law dan acces to legal counsel yang menjamin keadilan bagi semua orang (justice for all)[12].

Bagi para advokat, hal pertama yang harus dipegang adalah kesadaran diri bahwa profesi ini bersumber dari perasaan kemanusiaan yang mendambakan keadilan. Dikarenakan oleh itu landasan kemanusiaan harus menjadi intisari atau acuan bagi seorang advokat dalam menjalankan tugasnya. Dari sisi historis, konsep bantuan hukum lahir dari panggilan hati nurani manusia sejak zaman Romawi kuno. Pada saat itu, para dermawan terpanggil untuk membantu si miskin tidak berdaya. Diperjuangkannya nasib kaum buta hukum tersebut sehingga mereka dapat menuntut haknya dalam peradilan. Sejak itu pula, konsep bantuan hukum tersebut berkembang hingga saat ini.[13]

Peran Advokat memiliki arti penting dalam menjamin dan mempertahankan hak-hak saksi, tersangka maupun terdakwa. Advokat memberikan sebuah jalan keluar bagi terdakwa dalam menghadapi tekanan penegak hukum yang lain terhadap terdakwa. Posisi terdakwa yang berhadapan langsung dengan unsur negara (dalam hal ini diwakili oleh polisi dan kejaksaan) sangat rentan terhadap pemaksaan dan tekanan baik dalam pemeriksaan maupun dalam persidangan. Posisi yang tidak seimbang antara terdakwa dan negara (dapat diibaratkan seperti David dan Goliath) menyebabkan muncul pemikiran untuk memberikan kepada terdakwa hak-hak antara lain: hak untuk tidak menjawab, hak untuk didampingi advokat dll.

Dalam korupsi dimungkinkan sekali terjadi abuse of power yang dilakukan oleh penegak hukum yang memegang kuasa jika abuse of power dibarengi dengan judicial corruption maka dapat dibayangkan beratnya beban orang yang menjadi terdakwa ataupun saksi di dalam kasus korupsi. Hal yang lebih berat adalah jika yang dituduh bersalah dalam kasus korupsi adalah orang-orang yang tidak tahu menahu tentang kasus korupsi ataupun bawahan dari rantai korupsi yang ada ataupun adapula kejadian orang yang melaporkan kejahatan dituduh sebaliknya oleh orang yang dilaporkan. Oleh sebab itu adanya pendampingan hukum yang dilakukan oleh advokat kepada para saksi, terdakwa atau terpidana merupakan suatu hal yang mutlak dalam proses penegakan hukum. Walaupun pemberantasan korupsi telah dilakukan secara luar biasa akan tetapi tidak boleh melanggar prinsip-prinsip due process of law dan presumption of innocent. Namun pada saat ini, sangat disayangkan terdapat beberapa kasus yang bermunculan adanya advokat yang turut serta dalam perbuatan korupsi seharusnya PERADI sebagai organisasi yang menaungi para advokat dapat membuat aturan yang jelas dan sanksi yang tegas terhadap para advokat yang turut serta dalam perbuatan korupsi.


F. Koordinasi antara Aparat Penegak Hukum

Unsur yang penting dalam menyelesaikan kasus korupsi adalah koordinasi antar aparat penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan pada saat ini masih belum kerjasama yang baik dalam memberantas kasus korupsi bahkan terkadang berebut peran dalam mengungkap kasus korupsi.

Peran Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum harus betul-betul dipersiapkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat membawa pada akhir perkara yaitu dibuktikannya unsur-unsur pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Tentu saja penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa sangat berkaitan erat dengan bahan-bahan yang diajukan oleh Penyidik Polri sebagai ”bahan dasarnya” walaupun tidak sempurna akan tetapi menunjang Jaksa untuk memformulasikan surat dakwaan yang baik.[14] Sehingga jika proses penuntutan yang dilakukan oleh jaksa gagal maka kegagalan ini dapat ditelusuri dari proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian memang tidak benar atau juga dari bahan dasar yang diberikan penyidik tidak lengkap ataupun tidak mempunyai kekuatan hukum.

Seringkali terdengar oleh masyarakat mengenai bolak baliknya berkas perkara, dari jaksa ke kepolisian, bahkan ada yang lebih dari 3 kali, perjalanan berkas pekara yang lama ini terkadang dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh dengan berbagai cara permohonan izin berobat keluar negeri dengan maksud melarikan diri, melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mentransfer kekayaan yang didapat dari hasil korupsi ataupun menyembunyikannya. Hal inilah yang seharusnya dipahami dan diperbaiki oleh kejaksaan maupun kepolisian untuk mereformasi dirinya kembali dalam lingkup koordinasi yang sehat. Karena jika koordinasi yang tidak baik seperti ini berlanjut terus akan membuat kepercayaan publik semakin menurun, citra kepolisian dan kejaksaan semakin turun, menguntungkan pelaku kejahatan dan merugikan masyarakat yang menghendaki keadilan.

Meskipun sudah ada proses Pra Penuntutan dalam perkara pidana ataupun korupsi yang diharapkan dapat menutup celah kelemahan dalam kekurangpaduan ini, pada kenyataannya baik pihak kepolisian maupun kejaksaan masih saling menyalahkan jika timbul persoalan. Pihak kepolisian akan dengan mudah menyatakan bahwa ia telah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, namun berkasnya tetap dikembalikan oleh kejaksaan. Sementara pihak kejaksaan juga mengeluhkan mengapa banyak berkas pemeriksaan dari kepolisian yang dikembalikan jaksa (melalui proses pra-penuntutan) tidak dikembalikan oleh polisi. Pihak polisi sering merasa bahwa petunjuk–petunjuk jaksa sulit untuk dipenuhi terutama dalam melengkapi alat bukti. Sementara menurut kejaksaan petunjuk yang diberikan oleh kejaksaan dalam proses pra penuntutan sudah sangat jelas dan tidak memerlukan penafsiran-penafsiran yang tidak perlu.[15]

Proses-proses antara kejaksaan dan kepolisian diatas maka akan diperparah pada kondisi peradilan yang ada, terutama kaitannya dengan perkara korupsi. Perkara korupsi yang diungkap dan diselesaikan oleh jaksa yang selama ini dilakukan pada Peradilan Umum, banyak yang menemui jalan buntu, misalnya terdakwa dibebaskan oleh hakim dengan berbagai pertimbangan hukum, ada dakwaan yang tidak terbukti, dan pada saat memasuki persidangan terdakwa yang tidak ditahan melarikan diri.
Ketidaksamaan cara pandang dalam melihat kasus korupsi merupakan suatu hal yang terjadi terus menerus dari aparat penegak hukum, terutama antara jaksa dan hakim. Ketidaksamaan cara pandang ini akan mengakibatkan lepas atau bebasnya terdakwa dari kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya. Misalnya dalam akhir-akhir ini jaksa dan hakim sangat berbeda dalam menangggapi masalah keuangan BUMN, apakah keuangan negara ataukah keuangan privat sehingga tidak diperlukan pertanggungjawaban layakanya keuangan negara. Seharusnya dikaji secara mendalam terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan keuangan negara yang dipisahkan atapun keuangan BUMN oleh pihak kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga dapat dicari jalan keluar yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Akan tetapi Kemudian muncullah fatwa MK mengenai masalah ini yang secara sadar berpihak kepada pendapat yang bertentangan dengan Undang-undang Keuangan Negara. Hal inilah yang membuat jaksa dan polisi kebingungan dalam memeriksa, menyidik dan menuntut kasus ini didepan pengadilan. Banyak dakwaan yang dimentahkan oleh fatwa MA ini.

Hal ini jika dibandingkan dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tentu akan sangat jauh berbeda, adanya kesamaan frame pemikiran mengenai apa itu korupsi, keuangan negara dan abuse of power dari Pejabat negara atau PNS antara hakim dan KPK membuat kasus-kasus yang ada dan dibawa dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi lebih jelas.

Koordinasi yang baik dan dilakukan antara penegak hukum dapat kita lihat dalam TIMTASTIPIKOR yang dibentuk oleh Presiden untuk menangani kasus korupsi dibeberapa departemen. Koordinasi yang dilakukan TIMTASTIPIKOR tersebut tidak memerlukan waktu yang lama, proses yang panjang dan prestise antara institusi penegak hukum. TIMTASTIPIKOR ini mampu memangkas perjalanan berkas perkara yang terkadang bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan. Sangat mungkin untuk membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kejaksaaan dan kepolisian di daerah yang khusus menangani kasus korupsi. Kelompok kecil ini, harus diisi oleh person yang memiliki kualifikasi keilmuan yang cukup dalam menangani kasus korupsi juga mempunyai tingkat kejujuran dan integritas yang tinggi.

Peran advokat sebagai pendamping saksi maupun terdakwa dalam kasus korupsi diharapkan tidak ikut membantu penyelesaian-penyelesaian yang bersifat melawan hukum. Advokat harus mengetahui untuk menempatkan dirinya dalam kasus-kasus korupsi.

III. KESIMPULAN DAN SARAN


Terdapat 4 hal penting yang seharusnya diingat oleh Aparat Penegak Hukum dalam melakukan strategi pemberantasan korupsi. Keempat strategi tersebut adalah :

  1. Tindakan pencegahan
  2. Penindakan,
  3. Pengembalian asset hasil korupsi(asset recovery),
  4. Kerjasama internasional

Keempat strategi tersebut harus dilakukan secara koordinatif antara aparat penegak hukum dengan instansi pemerintah yang lain karena perbuatan korupsi pada saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang sistematis, terencana dan selalu menggunakan kekuasaan (abuse of power). Jika aparat penegak hukum tidak menggunakan seluruh potensi dan data yang ada diseluruh instansi pemerintah maka pemberantasan korupsi dilakukan cenderung parsial dan akhirnya menemukan jalan buntu.

Tindakan Pencegahan Korupsi yang selama ini ada belum mampu untuk meredam laju oknum-oknum koruptor. Seharusnya tindakan pencegahan harus menyeluruh terhadap pemberantasan korupsi. Pendekatan-pendekatan melalui Good Governance Principle harus dilakukan.

Tindakan penindakan dalam pemberantasan korupsi membutuhkan koordinasi yang harmonis antara para aparat penegak hukum. Kepolisian dan kejaksaan harus dapat melakukan koordinasi untuk membuktikan perbuatan korupsi yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Koordinasi yang selama ini dilakukan nampaknya masih menunjukkan kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut harus dihilangkan dengan koordinasi yang intens seperti yang terlihat dalam TIMTASTIPIKOR. Pengetahuan polisi dan jaksa pun harus ditingkatkan mengenai karakteristik perbuatan korupsi dan bahayanya, selain itu juga biaya penyidikan dan penuntutan harus ditingkatkan. Terdapat satu hal yang penting juga untuk dilakukan oleh para penegak hukum yaitu meningkatkan penggunaan teknologi informasi dan elektronik dalam pembuktian kasus korupsi seperti teknik penyadapan.

Hakim sebagai gerbang terakhir keadilan harus meningkatkan dirinya dalam memahami perbuatan korupsi dan menyamakan pemahaman terhadap perbuatan korupsi. Kesamaan pemahaman tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan tentang tindak pidana korupsi yang berkesinambungan bila perlu melibatkan para ahli yang memahami tindak pidana korupsi.

Bambang Widjojanto, Advisor pada Partnership for Governance Reform

Rahmat Bagja, Koordinator Divisi Konstitusi, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)

DAFTAR PUSTAKA

Meliala, Adrianus, Mungkinkah Mewujudkan Polisi yang Bersih?, Jakarta, Partnership for Governance Reform, 2005

Santoso, Topo, Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan? , Jakarta, Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000

Alatas, S.H, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES, 1987

Meliala, Adrianus, Van Tujil, Peter, Polri dan Pemilu 2004, Jakarta, Partnership for Governance Reform, Jakarta, 2003

Winarta, Frans Hendra, Bantuan Hukum: Suatu Hak Azasi Manusia bukan Belas Kasihan, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2000

Mc Walters, Ian, Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia, Surabaya, JPBooks, 2006

Santosa, Mas Ahmad, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan, Jakarta, Melibas, 2004

KHN, MaPPI FHUI, Kejaksaan Agung RI, The Asia Foundation, Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa, Jakarta, KHN, 2005

Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001



[1] UU No.21 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[2] United Nations Convention against Corruption

[3] Williams, Concept of an Independent Organisation, dikutip dalam Klitgard, Membasmi Korupsi, hlm. 160.

[4] Presentation of Anti-Corruption Unit of United Nations Office on Drugs and Crime dengan judul Strengthening Judicial Integrity And Capacity

[5] Meliala, Tuijl, Polri dan Pemilu 2004, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2003

[6] Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[7] Pasal 3 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[8] Perencanaan Strategik Kejaksaan RI tahun 2005.

[9] ibid

[10] KHN, Kejaksaan Agung RI, Mappi FHUI, Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa, 2005, h. 66

[11] Penjelasan UU No.4 tahun 2004

[12] Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Azasi Manusia bukan Belas Kasihan, PT Elex Media Komputindo, Jakarta 2000, h. 89

[13] Adnan Buyung Nasution, Jurnal Profesi dan Hukum Kontemporer LAWYER, No. 01 Vol.1/2006, IKADIN Jakarta Pusat, h. 8

[14] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan?, Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, Depok, 2000, h.71

[15] Ibid.